Sejarah Pesantren

KH. Hidayat Mustafidz adalah seorang santri yang sejak kecil telah menempuh pendidikan di berbagai pesantren tahfidz. Sejak awal, beliau memiliki cita-cita sederhana: ingin menjadi seorang guru ngaji di kampung halamannya. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk mendirikan sebuah pesantren.

Setelah menyelesaikan masa mondok, beliau mengabdikan diri di Pesantren Tahfidz Al-Muqoddasah yang diasuh oleh KH. Hasan Abdullah Sahal, salah satu pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor. Di sana, beliau dikenal sebagai koordinator tahfidz dan membimbing banyak santri dalam menghafal Al-Qur’an.

Pada tahun 2012, beliau membeli sebidang tanah di daerah Joresan, sebagai persiapan untuk pulang ke kampung halaman. Baru pada tahun 2019, ketika rumah yang dibangun telah selesai, beliau berpamitan kepada KH. Hasan Abdullah Sahal dan menetap di Joresan.

Setibanya di Joresan, beliau segera menarik perhatian masyarakat sekitar. Kebiasaannya setiap sore membaca (ndheres) Al-Qur’an di depan rumah bersama istri membuat warga semakin mengenalnya sebagai seorang hafidz. Penduduk pun mulai meminta beliau untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak mereka.

Kegiatan mengajar ini dimulai secara sederhana di mushola kampung dengan sekitar 60 anak. Dengan penuh kesungguhan dan kebahagiaan, KH. Hidayat Mustafidz menjalankan kegiatan yang dicita-citakannya yaitu sebagai seorang guru ngaji di surau kecil. Kegiatan ini terus berlangsung selama satu tahun.

Hingga suatu hari, datang empat orang anak dari luar daerah, seperti Jambi, Lampung, dan Bengkulu. Mereka ingin menghafal Al-Qur’an di bawah bimbingan beliau. Saat itu, rumah beliau belum sepenuhnya selesai dan tidak memiliki fasilitas untuk menampung santri, sehingga anak-anak tersebut sementara dititipkan di rumah Pak RT dan beberapa tetangga.

Bagaimana mereka bisa menemukan seorang guru ngaji di kampung kecil yang jauh dari hiruk-pikuk media sosial?

Saat di Al-Muqoddasah beliau adalah koordinator tahfidz, tentu cukup dikenal di kalangan santri dan wali santri. Maka, wajar jika kabar kepindahannya tersebar dari mulut ke mulut, hingga beberapa keluarga dan kerabat santri ingin menitipkan anak-anak mereka untuk belajar bersama beliau.

Seiring berjalannya waktu, jumlah santri terus bertambah hingga mencapai delapan orang. Motivasi mereka pun beragam, ada yang tetap menjalani sekolah formal sekolah sambil menghafal Al-Qur’an, sementara yang lain mempersiapkan diri untuk melanjutkan studi ke luar negeri seperti Mesir dan Madinah.

Melihat pertumbuhan jumlah santri, KH. Hidayat Mustafidz mulai berpikir untuk membangun gedung sendiri agar para santri memiliki tempat yang layak untuk belajar dan menginap. Namun, kendala terbesar adalah biaya untuk membangun pesantren.

Di tengah kebingungan, beliau hanya bisa berdoa agar diberikan jalan keluar. Tak disangka, suatu hari ada seseorang yang meminta bantuan beliau untuk menjual sebidang tanah. Setelah tanah tersebut terjual, tanpa diduga pemiliknya memberikan fee sebesar 5% dari hasil penjualan.

Sebagai seorang santri, KH. Hidayat Mustafidz sama sekali tidak pernah mengharapkan komisi dari transaksi tersebut. Namun, dari rezeki tak terduga inilah, pembangunan pesantren akhirnya dimulai.

Sejak saat itu, Pesantren Tahfidz Al-Quran Darul Hijroh terus berkembang. Berawal dari niat sederhana untuk menjadi guru ngaji di surau kecil, kini pesantren ini menjadi tempat bagi banyak santri dalam menuntut ilmu, menghafal, dan memperdalam pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an. Dengan tekad dan keikhlasan, pesantren ini terus berusaha mempersiapkan generasi Qurani yang unggul dan bermanfaat bagi umat.